Melihat Geliat Bisnis Bioskop di Indonesia Sejak Zaman Dulu

Melihat Geliat Bisnis Bioskop di Indonesia Sejak Zaman Dulu

Melihat Geliat Bisnis Bioskop di Indonesia Sejak Zaman Dulu

Tidak perlu dipungkuri, melihat film layar-lebar untuk mayoritas orang di Indonesia ialah sebuah keperluan primer. Tiap minggu atau tiap bulan saat ada film yang di rasa bagus, beberapa orang sering menggempur bioskop untuk melipur diri mereka dengan beberapa film yang tampil.

Teman GNFI tentunya pernah rasakan hal semacam itu, kan? Apa lagi bioskop telah banyak menyebar di beberapa kota di Indonesia.

Sarana selingan seperti bioskop memang sudah lama tumbuh di Indonesia, mulai ada semenjak awalnya era ke-20 atau semenjak jaman kolonialisme Belanda lebih persisnya. Bioskop di Indonesia—atau Hindia Belanda di saat itu—pertama kali ada di ibukota koloni, Batavia.

Selama ini, beberapa sumber menjelaskan bioskop ada pertama kalinya pada Desember 1900 dalam suatu rumah di Kebonjae, Tanah Abang. Bukti itu berdasar iklan di media massa Bintang Betawi edisi 30 November 1900 dan 5 Desember 1900," jelas sejarawan Fandy Hutari saat dikontak GNFI pada Rabu (6/5).

"Tetapi, ada iklan di media massa berbahasa Belanda Javabode edisi 9 Oktober 1896 menyebutkan, atraksi sinema yang sukses besar di semua Eropa akan diputar pada 11 Oktober 1896 di Schouwburg (sekarang Gedung Kesenian Jakarta, dekat Pasar Baru) Batavia. Pemutaran pertama jam 1/2 6 dan ke-2  jam 1/2 tujuh malam. Ticket masuk f1 (dibaca: satu florin atau satu gulden). Ini disentil Dafna Ruppin di bukunya The Humor Bioscoop: The Emergence of Movie-Going in Colonial Indonesia, 1896-1914 (2016).

"Orang yang mengupayakan Mpo88 pemutaran film pertama itu ialah Louis Talbot," terang Fandy yang telah mengeluarkan beberapa buku, salah satunya Selingan Periode Lalu dan Adat Lokal: Kelompok Esai Seni, Budaya, dan Riwayat Indonesia (2017) dan Tan Tjeng Bok: Seniman Tiga Jaman (2019).

Bioskop Jaman Belanda, Duduk Per Kelas
Dari bioskop yang murah sampai yang paling mahal, dari yang menyuguhkan kualitas sajian sinematik yang bagus sampai yang sedang saja. Seperti itu beberapa orang fans film atau yang sekedar mencari selingan pada periode sekarang, mereka bebas pilih ingin melihat film di bioskop seperti apakah.

Beberapa orang saat ini bebas ingin pilih bioskop yang mana, bebas ingin duduk di mana, tapi lain kembali pada jaman dahulu. Implementasi segregasi pada periode kolonialisme Belanda membuat beberapa orang pribumi memperoleh tindakan yang diskriminatif. Akhirnya, mereka jangan masuk atau duduk asal-asalan saat melihat di bioskop.

Wartawan dan penulis Alwi Shahab dalam buku Saudagar Baghdad dari Betawi (2004) pernah menjelaskan pembagian kelas dalam bioskop pada periode itu. Ada banyak pembagian kelas yang dipisah sama sesuai tempat melihat yaitu kelas balcon, loge, stalles, dan kelas I. Ada pula bioskop yang membagikan stratanya jadi kelas I, II, dan II. Tiap bioskop menggenggam konsep semacam ini, makin jauh tempat duduk dari monitor, karena itu harga karcis akan makin mahal.

Seluruh orang bisa melihat, namun ada pembagian kelas. Misalkan, The Royal Bioscope pada 1903 menetapkan karcis untuk kelas logef1, kelas satu f1, kelas dua f0,50, dan kelas tiga yang khusus buat 'orang Slam (Betawi muslim) dan Jawa saja' f0,25. Pembagian kelas ini berasa diskriminatif. Karena, pebisnis bioskop secara tidak ingin langsung pastikan beberapa orang Eropa dan Tionghoa tidak melihat di kelas paling rendah pada harga ticket termurah, yaitu kelas orang Slam dan Jawa," terang Fandy yang disebut alumnus jalur Riwayat Kampus Padjadjaran, Bandung, pada 2007.

Kemudian, menurut Misbach Yusa Biran dalam bukunya Riwayat Film 1900-1950: Buat Film di Jawa (2009), ada kelas-kelas bioskop. Ada bioskop yang khusus untuk orang Eropa saja. Misalkan, di Batavia ada bioskop Deca Park dan di Bandung ada Gedung Concordia. Bioskop Capitol di Batavia sebagai bioskop kelas I, Kramat Theater contoh bioskop kelas II, dan Bioskop Rialto di Pasar Senen ialah bioskop kelas III. Kelas-kelas ini bergantung posisi gedung dengan kondisi ekonomi warga sekitaran,'' lanjutnya kembali.

Kelas kambing. Panggilan itu seringkali disebut dan dipasangkan di sejumlah sarana khalayak pada periode itu. Selainnya kelas terikuth di angkutan umum seperti trem, kelas kambing jadi panggilan untuk kelas III atau kelas IV yang berada di bioskop.

Di kelas kambing pemirsa biasanya dari kelompok bawah, umumnya mereka kerap berulah dan paling bising saat melihat. Pemirsa dari kelas kambing umumnya akan ditaruh di muka monitor atau malah ada di belakang monitor. Presiden Republik Indonesia pertama, Sukarno, saat remajanya pernah rasakan melihat di kelas itu.

Bioskop pada periode itu biasanya menanyangkan beberapa film luar negeri. Jenisnya beberapa macam, tapi film yang tersering dibuat periode itu adalah jenis sinetron dan tindakan. "Jenis apa ada, dimulai dari sinetron sampai action. Umumnya produksi Hollywood (Amerika Serikat), China, Belanda, dan Jerman. Film narasi Indonesia sendiri baru ada di 1926, yaitu Loetoeng Kasaroeng," sebut Fandy.

Bioskop di Indonesia Sesudah Kemerdekaan
Sesudah merdeka, di Indonesia ada sekitaran dua beberapa ratus bioskop yang menyebar dari daerah timur sampai barat. Tetapi, banyaknya berkurang saat Jepang menempati Indonesia.

Jepang memang ketat dalam pemerlakukan larangan beberapa hal bau Belanda atau kebarat-baratan. Misalnya, media massa berbahasa Belanda dilarang keluar, beberapa nama tempat dan jalan bau Belanda ditukar bernama berbahasa Indonesia. Bioskop yang kerap menyiarkan film barat juga ikut terkena dampaknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jejeran Aktris Indonesia Zaman 80-90an yang Dipanggil Bom Sex

3 Film Terkini Lucu Indonesia Tampil 2021, Dapat Jadi Selingan Saat Berlibur

4 Film Semi Indonesia Kuno dengan Banyak Episode Dewasa